“Hei Ratna!.”
“Ngapain kau cari-cari dosen killer itu?”, Ratna itu bertanya heran.
“Tau nih, aku mau minta ujian susulan, sudah dua kali aku minta diundur terus, kenapa ya?.”
“Idih jahat banget!”.
“Makanya, aku takut nanti di raport merah, mata kuliah dia kan penting!, tauk nih, bentar ya aku masuk
dulu!”.
“He-eh deh, sampai nanti!” Ratna berlalu.
AGENT JUDI TERPERCAYA - Dengan memberanikan diri aku mengetuk pintu.
“Masuk!”, Sebuah suara yang amat ditakutinya menyilakannya masuk.
“Selamat siang pak!”.
“Selamat siang, kamu siapa?”, tanyanya tanpa meninggalkan pekerjaan yang sedang dikerjakannya.
“Saya Amel!”. “Aku..?”
“Oh, yang mau minta ujian lagi itu ya?”.
“Iya benar pak.”
“Saya tidak ada waktu, nanti hari Mminggu saja kamu datang ke rumah saya, ini kartu nama saya”,
Katanya acuh tak acuh sambil menyerahkan kartu namanya.
“Ada lagi?” tanya dosen itu.
“Tidak pak, selamat siang!”
“Selamat siang!”.
Dengan lemas aku beranjak keluar dari ruangan itu. Kesal sekali rasanya, sudah belajar sampai larut
malam, sampai di sini harus kembali lagi hari Minggu, huh! Mungkin hanya akulah yang hari Minggu masih
berjalan sambil membawa tas hendak kuliah. Hari ini aku harus memenuhi ujian susulan di rumah Pak
Heri, dosen berengsek itu.
Rumah Pak Heri terletak di sebuah perumahan elite, di atas sebuah bukit, agak jauh dari rumah-rumah
lainnya. Belum sempat memijit Bel pintu sudah terbuka, Seraut wajah yang sudah mulai tua tetapi tetap
segar muncul.
“Ehh! Amel, ayo masuk!”, sapa orang itu yang tak lain adalah pak Heri sendiri.
“Permisi pak! Ibu mana?”, tanyaku berbasa-basi.
“Ibu sedang pergi dengan anak-anak ke rumah neneknya!”, sahut pak Heri ramah.
“Sebentar ya, katanya lagi sambil masuk ke dalam ruangan”.
Tumben tidak sepeti biasanya ketika mengajar di kelas, dosen ini terkenal paling killer.
Rumah Pak Heri tertata rapi. Dinding ruang tamunya bercat putih. Di sudut ruangan terdapat seperangkat
lemari kaca temapat tersimpan berbagai barang hiasan porselin. Di tengahnya ada hamparan permadani
berbulu, dan kursi sofa kelas satu.
“Gimana sudah siap?”, tanya pak Heri mengejutkan aku dari lamunannya.
“Eh sudah pak!”
“Sebenarnya, sebenarnya Amel tidak perlu mengikuti ulang susulan kalau….”,
“Kalau! Kalau apa pak?”, aku bertanya tak mengerti.
Belum habis bicaranya, Pak Heri sudah menuburuk tubuhku.
“Pak, apa-apaan ini?”, tanyaku kaget sambil meronta mencoba melepaskan diri.
“Jangan berpura-pura Amel sayang, aku membutuhkannya dan kau membutuhkan nilai bukan, kau akan
kululuskan asalkan mau melayani aku!”, sahut lelaki itu sambil berusaha menciumi bibirku.
Serentak Bulu kudukku berdiri. Geli, jijik, namun detah dari mana asalnya perasaan hasrat menggebu-
gebu juga kembali menyerangku. Ingin rasanya membiarkan lelaki tua ini berlaku semaunya atas diriku.
Harus kuakui memang, walaupun dia lebih pantas jadi bapakku, namun sebenarnya lelaki tua ini sering
membuatku berdebar-debar juga kalau sedang mengajar. Tapi aku tetap berusaha meronta-ronta, untuk
menaikkan harga diriku di mata Pak Heri.
“Lepaskan, Pak jangan hhmmpppff!”, kata-kataku tidak terselesaikan karena terburu bibirku tersumbat
mulut pak Heri.
Aku meronta dan berhasil melepaskan diri. Aku bangkit dan berlari menghindar. Namun entah mengapa aku
justru berlari masuk ke sebuah kamar tidur.
Kurapatkan tubuhku di sudut ruangan sambil mengatur kembali nafasku yang terengah-engah, entah mengapa
birahiku sedemikian cepat naik. Seluruh wajahku terasa panas, kedua kakikupun terasa gemetar.
Pak Heri seperti diberi kesempatan emas. Ia berjalan memasuki kamar dan mengunci pintunya. Lalu dengan
perlahan ia mendekatiku. Tubuhku bergetar hebat manakala lelaki tua itu mengulurkan tangannya untuk
merengkuh diriku.
Dengan sekali tarik aku jatuh ke pelukan Pak Heri, bibirku segera tersumbat bibir laki-laki tua itu.
Terasa lidahnya yang kasap bermain menyapu telak di dalam mulutku. Perasaanku bercampur aduk jadi
satu, benci, jijik bercampur dengan rasa ingin dicumbui yang semakin kuat hingga akhirnya akupun
merasa sudah kepalang basah, hati kecilku juga menginginkannya.
Terbayang olehku saat-saat aku dicumbui seperti itu oleh Aldy, entah sedang di mana dia sekarang. aku
tidak menolak lagi. bahkan kini malah membalas dengan hangat.
Merasa mendapat angin kini tangan Pak Heri bahkan makin berani menelusup di balik blouse yang aku
pakai, tidak berhenti di situ, terus menelup ke balik beha yang aku pakai. Jantungku berdegup kencang
ketika tangan laki-laki itu meremas-remas gundukan daging kenyal yang ada di dadaku dengan gemas.
Terasa benar, telapak tangannya yang kasap di permukaan buah dadaku, ditingkahi dengan jari-jarinya
yang nakal mepermainkan puting susuku. Gemas sekali nampaknya dia. Tangannya makin lama makin kasar
bergerak di dadaku ke kanan dan ke kiri.
Setelah puas, dengan tidak sabaran tangannya mulai melucuti pakaian yang aku pakai satu demi satu
hingga berceceran di lantai. Hingga akhirnya aku hanya memakai secarik G-string saja. Bergegas pula
Pak Heri melucuti kaos oblong dan sarungnya. Di baliknya menyembul batang penis laki-laki itu yang
telah menegang, sebesar lengan Bayi.
Tak terasa aku menjerit ngeri, aku belum pernah melihat alat vital lelaki sebesar itu. Aku sedikit
ngeri. Bisa jebol milikku dimasuki benda itu. Namun aku tak dapat menyembunyikan kekagumanku.
Seolah ada pesona tersendiri hingga pandangan mataku terus tertuju ke benda itu. Pak Heri berjalan
mendekatiku, tangannya meraih kunciran rambutku dan menariknya hingga ikatannya lepas dan rambutku
bebas tergerai sampai ke punggung.
“Kau Cantik sekali Amel”, gumam pak Heri mengagumi kecantikanku.
Aku hanya tersenyum tersipu-sipu mendengar pujian itu.
Dengan lembut Pak Heri mendorong tubuhku sampai terduduk di pinggir kasur. Lalu ia menarik G-string,
kain terakhir yang menutupi tubuhku dan dibuangnya ke lantai. Kini kami berdua telah telanjang bulat.
Tanpa melepaskan kedua belah kakiku, bahkan dengan gemas ia mementangkan kedua belah pahaku lebar-
lebar. Matanya benar-benar nanar memandang daerah di sekitar selangkanganku. Nafas laki-laki itu
demikian memburu.
Tak lama kemudian Pak membenamkan kepalanya di situ. Mulut dan lidahnya menjilat-jilat penuh nafsu di
sekitar kemaluanku yang tertutup rambut lebat itu. Aku memejamkan mata, oohh, indahnya, aku sungguh
menikmatinya, sampai-sampai tubuhku dibuat menggelinjang-gelinjang kegelian.
“Pak!”, rintihku memelas.
“Pak, aku tak tahan lagi!”, aku memelas sambil menggigit bibir.
tua itu tidak peduli, bahkan senang melihat aku dalam keadaan demikian. Ini terlihat dari gerakan
tangannya yang kini bahkan terjulur ke atas meremas-remas payudaraku, tetapi tidak menyudahi
perbuatannya. Padahal aku sudah kewalahan dan telah sangat basah kuyup.
“Paakk, aakkhh!”, aku mengerang keras, kakinya menjepit kepala Pak Heri melampiaskan derita birahiku,
kujambak rambut Pak Heri keras-keras.
Kini aku tak peduli lagi bahwa lelaki itu adalah dosen yang aku hormati. Sungguh lihai laki-laki ini
membangkitkan gairahku. aku yakin dengan nafsunya yang sebesar itu dia tentu sangat berpengalaman
dalam hal ini, bahkan sangat mungkin sudah puluhan atau ratusan mahasiswi yang sudah digaulinya. Tapi
apa peduliku?
Tiba-tiba Pak Heri melepaskan diri, lalu ia berdiri di depanku yang masih terduduk di tepi ranjang
dengan bagian bawah perutnya persis berada di depan wajahku. aku sudah tahu apa yang dia mau, namun
tanpa sempat melakukannya sendiri, tangannya telah meraih kepalaku untuk dibawa mendekati
kejantanannya yang aduh mak.., Sungguh besar itu.
Tanpa melawan sama sekali aku membuka mulut selebar-lebarnya, Lalu kukulum sekalian alat vital Pak
Heri ke dalam mulutku hingga membuat lelaki itu melek merem keenakan. Benda itu hanya masuk bagian
kepala dan sedikit batangnya saja ke dalam mulutku.
Itupun sudah terasa penuh. Aku hampir sesak nafas dibuatnya. Aku pun bekerja keras, menghisap,
mengulum serta mempermainkan batang itu keluar masuk ke dalam mulutku. Terasa benar kepala itu
bergetar hebat setiap kali lidahku menyapu kepalanya.
Beberapa saat kemudian Pak Heri melepaskan diri, ia membaringkan aku di tempat tidur dan menyusul
berbaring di sisiku, kaki kiriku diangkat disilangkan di pinggangnya. Lalu Ia berusaha memasuki
tubuhku belakang. Ketika itu pula kepala penis Pak Heri yang besar itu menggesek clitoris di liang
senggamaku hingga aku merintih kenikmatan.
Ia terus berusaha menekankan miliknya ke dalam milikku yang memang sudah sangat basah. Pelahan-lahan
benda itu meluncur masuk ke dalam milikku.
Dan ketika dengan kasar dia tiba-tiba menekankan miliknya seluruhnya amblas ke dalam diriku aku tak
kuasa menahan diri untuk tidak memekik. Perasaan luar biasa bercampur sedikit pedih menguasai diriku,
hingga badanku mengejang beberapa detik.
Pak Heri cukup mengerti keadaan diriku, ketika dia selesai masuk seluruhnya dia memberi kesempatan
padaku untuk menguasai diri beberapa saat. Sebelum kemudian dia mulai menggoyangkan pinggulnya pelan-
pelan kemudian makin lama makin cepat.
Aku sungguh tak kuasa untuk tidak merintih setiap Pak Heri menggerakkan tubuhnya, gesekan demi gesekan
di dinding dalam liang senggamaku sungguh membuatku lupa ingatan. Pak Heri menyetubuhi aku dengan cara
itu. Sementara bibirnya tak hentinya melumat bibir, tengkuk dan leherku, tangannya selalu meremas-
remas payudaraku. Aku dapat merasakan puting susuku mulai mengeras, runcing dan kaku.
Aku bisa melihat bagaimana batang penis lelaki itu keluar masuk ke dalam liang kemaluanku. Aku selalu
menahan nafas ketika benda itu menusuk ke dalam. Milikku hampir tidak dapat menampung ukuran Pak Heri
yang super itu, dan ini makin membuat Pak Heri tergila-gila.
Tidak sampai di situ, beberapa menit kemudian Pak Heri membalik tubuhku hingga menungging di
hadapannya. Ia ingin pakai doggy style rupanya. Tangan lelaki itu kini lebih leluasa meremas-remas
kedua belah payudara aku yang kini menggantung berat ke bawah.
Sebagai seorang wanita aku memiliki daya tahan alami dalam bersetubuh. Tapi bahkan kini aku kewalahan
menghadapi Pak Heri. Laki-laki itu benar-benar luar biasa tenaganya. Sudah hampir setengah jam ia
bertahan. Aku yang kini duduk mengangkangi tubuhnya hampir kehabisan nafas.
Kupacu terus goyangan pinggulku, karena aku merasa sebentar lagi aku akan memperolehnya. Terus, terus,
aku tak peduli lagi dengan gerakanku yang brutal ataupun suaraku yang kadang-kadang memekik menahan
rasa luar biasa itu.
Dan ketika klimaks itu sampai, aku tak peduli lagi, aku memekik keras sambil menjambak rambutnya.
Dunia serasa berputar. Sekujur tubuhku mengejang. Sungguh hebat rasa yang kurasakan kali ini. Sungguh
ironi memang, aku mendapatkan kenikmatan seperti ini bukan dengan orang yang aku sukai. Tapi masa
bodohlah.
Berkali-kali kuusap keringat yang membasahi dahiku. Pak Heri kemudian kembali mengambil inisiatif.
kini gantian Pak Heri yang menindihi tubuhku. Ia memacu keras untuk mencapai klimaks. Desah nafasnya
mendengus-dengus seperti kuda liar, sementara goyangan pinggulnya pun semakin cepat dan kasar.
Peluhnya sudah penuh membasahi sekujur tubuhnya dan tubuhku. Sementara kami terus berpacu. Sungguh
hebat laki-laki ini. Walaupun sudah berumur tapi masih bertahan segitu lama. Bahkan mengalahkan semua
cowok-cowok yang pernah tidur denganku, walaupun mereka rata-rata sebaya denganku.
Namun beberapa saat kemudian, Pak Heri mulai menggeram sambil mengeretakkan giginya. Tubuh lelaki tua
itu bergetar hebat di atas tubuhku. Penisnya menyemburkan cairan kental yang hangat ke dalam liang
kemaluanku dengan derasnya.
Beberapa saat kemudian, perlahan-lahan kami memisahkan diri. Kami terbaring kelelahan di atas kasur
itu. Nafasku yang tinggal satu-satu bercampur dengan bunyi nafasnya yang berat. Kami masing-masing
terdiam mengumpulkan tenaga kami yang sudah tercerai berai.
Aku sendiri terpejam sambil mencoba merasakan kenikmatan yang baru saja aku alami di sekujur tubuhku
ini. Terasa benar ada cairan kental yang hangat perlahan-lahan meluncur masuk ke dalam liang vaginaku.
Hangat dan sedikit gatal menggelitik.
Bagian bawah tubuhku itu terasa benar-benar banjir, basah kuyub. Aku menggerakkan tanganku untuk
menyeka bibir bawahku itu dan tanganku pun langsung dipenuhi dengan cairan kental berwarna putih susu
yang berlepotan di sana.
“Bukan main Amel, ternyata kau pun seperti kuda liar!” kata Pak Heri penuh kepuasan.
Aku yang berbaring menelungkup di atas kasur hanya tersenyum lemah. aku sungguh sangat kelelahan,
kupejamkan mataku untuk sejenak beristirahat. Persetan dengan tubuhku yang masih telanjang bulat.
Pak Heri kemudian bangkit berdiri, ia menyulut sebatang rokok. Lalu lelaki tua itu mulai mengenakan
kembali pakaiannya. Aku pun dengan malas bangkit dan mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di
lantai.
Sambil berpakaian ia bertanya,
“Bagaimana dengan ujian saya pak?.”
“Minggu depan kamu dapat mengambil hasilnya”, sahut laki-laki itu pendek.
“Kenapa tidak besok pagi saja?”, protes aku tak puas.
“Aku masih ingin bertemu kamu, selama seminggu ini aku minta agar kau tidak tidur dengan lelaki lain
kecuali aku!”, jawab Pak Heri.
Aku sedikit terkejut dengan jawabannya itu. Tapi akupun segera dapat menguasai keadaanku. Rupanya dia
belum puas dengan pelayanan habis-habisanku barusan.
“Aku tidak bisa janji!”, sahutku seenaknya sambil bangkit berdiri dan keluar dari kamar mencari kamar
mandi.
Pak Heri hanya mampu terbengong mendengar jawabanku yang seenaknya itu.
Aku sedang berjalan santai meninggalkan rumah pak Heri, ini pertemuanku yang ketiga dengan laki-laki
itu demi menebus nilai ujianku yang selalu jeblok jika ujian dengan dia. Mungkin malah sengaja dibuat
jeblok biar dia bisa main denganku.
Dasar, namun harus kuakui, dia laki-laki hebat, daya tahannya sungguh luar biasa jika dibandingkan
dengan usianya yang hapir mencapai usia pensiun itu. Bahkan dari pagi hingga sore hari ini dia masih
sanggup menggarapku tiga kali, sekali di ruang tengah begitu aku datang, dan dua kali di kamar tidur.
Aku sempat terlelap sesudahnya beberapa jam sebelum membersihkan diri dan pulang.
Berutung kali ini, aku bisa memaksanya menandatangani berkas ujian susulanku.
“Masih ada mata kuliah Pengantar Berorganisasi dan Kepemimpinan?”, katanya sambil membubuhkan nilai A
di berkas ujianku.
“Selama bapak masih bisa memberiku nilai A”, kataku pendek.
“Segeralah mendaftar, kuliah akan dimulai minggu depan!”.
“Terima kasih pak!” kataku sambil tak lupa memberikan senyum semanis mungkin.
“Amel!” teriakan seseorang mengejutkan lamunanku.
Aku menoleh ke arah sumber suara tadi yang aku perkirakan berasal dari dalam mobil yang berjalan
perlahan menghampiriku. Seseorang membuka pintu mobil itu, wajah yang sangat aku benci muncul dari
balik pintu Mitsubishi Galant keluaran tahun terakhir itu.
“Masuklah Amel.”
“Tidak, terima kasih. Aku bisa jalan sendiri koq!”, Aku masih mencoba menolak dengan halus.
“Ayolah, masa kau tega menolak ajakanku, padahal dengan pak Heri saja kau mau!”.
Aku tertegun sesaat, Bagai disambar petir di siang bolong.
“Da,Darimana kau tahu?”.
“Nah, jadi benar kan, padahal aku tadi hanya menduga-duga!”
“Sialan!”, Aku mengumpat di dalam hati,
harusnya tadi aku bersikap lebih tenang, aku memang selalu nervous kalau ketemu cowok satu ini,
rasanya ingin buru-buru pergi dari hadapannya dan tidak ingin melihat mukanya yang memang seram itu.
Seperti tipikal orang Indonesia bagian daerah paling timur, cowok ini hitam tinggi besar dengan postur
sedikit gemuk, janggut dan cambang yang tidak pernah dirapikan dengan rambut keritingnya yang
dipelihara panjang ditambah dengan caranya memakai kemeja yang tidak pernah dikancingkan dengan benar
sehingga memamerkan dadanya yang penuh bulu.
Dengan asesoris kalung, gelang dan cincin emas, arloji rolex yang dihiasi berlian, cukup menunjukkan
bahwa dia ini orang yang memang punya duit. Namun, aku menjadi muak dengan penampilan seperti itu.
Dino memang salah satu jawara di kampus, anak buahnya banyak dan dengan kekuatan uang serta gaya
jawara seperti itu membuat dia menjadi salah satu momok yang paling menakutkan di lingkungan kampus.
Dia itu mahasiswa lama, dan mungkin bahkan tidak pernah lulus, namun tidak ada orang yang berani
mengusik keberadaannya di kamus, bahkan dari kalangan akademik sekalipun.
“Gimana? Masih tidak mau masuk?”, tanya dia setengah mendesak.
Aku tertegun sesaat, belum mau masuk. Aku memang sangat tidak menyukai laki-laki ini, Tetapi
kelihatannya aku tidak punya pilihan lain, bisa-bisa semua orang tahu apa yang kuperbuat dengan pak
Heri, dan aku sungguh-sungguh ingin menjaga rahasia ini, terutama terhadap Erwin, tunanganku.
Namun saat ini aku benar benar terdesak dan ingin segera membiarkan masalah ini berlalu dariku.
Makanya tanpa pikir panjang aku mengiyakan saja ajakannya.
Dino tertawa penuh kemenangan, ia lalu berbicara dengan orang yang berada di sebelahnya supaya
berpindah ke jok belakang. Aku membanting pantatku ke kursi mobil depan, dan pemuda itu langsung
menancap gas. Sambil nyengir kuda. Kesenangan.
“Ke mana kita?”, tanyaku hambar.
“Lho? Mestinya aku yang harus tanya, kau mau ke mana?”, tanya Dino pura-pura heran.
“Sudahlah Dino, tak usah berpura-pura lagi, kau mau apa?”, Suaraku sudah sedemikian pasrahnya.
Aku sudah tidak mau berpikir panjang lagi untuk meminta dia menutup-nutupi perbuatanku. Orang yang
duduk di belakangku tertawa.
“Rupanya dia cukup mengerti apa kemauanmu Dino!”, Dia berkomentar.
“Ah, diam kau Maki!” Rupanya orang itu namanya Maki, orang dengan penampilan hampir mirip dengan Dino
kecuali rambutnya yang dipotong crew-cut.
“Bagaimana kalau ke rumahku saja? Aku sangat merindukanmu Amel!”, pancing Dino.
“Sesukamulah!”, Aku tahu benar memang itu yang diinginkannya.
Dino tertawa penuh kemenangan.
Ia melarikan mobilnya makin kencang ke arah sebuah kompleks perumahan. Lalu mobil yang ditumpangi
mereka memasuki pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Di pekarangan itu sudah ada 2 buah mobil
lain, satu Mitsubishi Pajero dan satu lagi Toyota Great Corolla namun keduanya kelihatan diparkir
sekenanya tak beraturan.
Interior depan rumah itu sederhana saja. Cuma satu stel sofa, sebuah rak perabotan pecah belah. Tak
lebih. Dindingnya polos. Demikian juga tempok ruang tengah. Terasa betapa luas dan kosongnya ruangan
tengah itu, meski sebuah bar dengan rak minuman beraneka ragam terdapat di sudut ruangan, menghadap ke
taman samping. Sebuah stereo set terpasang di ujung bar. Tampaknya baru saja dimatikan dengan
tergesa-gesa. Pitanya sebagian tergantung keluar.
Dari pintu samping kemudian muncul empat orang pemuda dan seorang gadis, yang jelas-jelas masih
menggunakan seragam SMU. Mereka semua mengeluarkan suara setengah berbisik. Keempat orang laki-laki
itu, tiga orang sepertinya sesuku dengan Dino atau sebangsanya, sedangkan yang satu lagi seperti bule
dengan rambutnya yang gondrong.
Sementara si gadis berperawakan tinggi langsing, berkulit putih dan rambutnya yang hitam lurus dan
panjang tergerai sampai ke pinggang, ia memakai bandana lebar di kepalanya dengan poni tebal menutupi
dahinya.
Wajahnya yang oval dan bermata sipit menandakan bahwa ia keturunan Cina atau sebangsanya. Harus kuakui
dia memang cantik, seperti bintang film drama Mandarin. Berbeda dengan penampilan ketiga laki-laki
itu, gadis ini kelihatannya bukan merupakan gerombolan mereka,
Dilihat dari tampangnya yang masih lugu. Ia masih mengenakan seragam sebuah sekolah Katolik yang
langsung bisa aku kenali karena memang khas. Namun entah mengapa dia bisa bergaul dengan orang-orang
ini.
Dino bertepuk tangan. Kemudian memperkenalkan diriku dengan mereka. Yos, dan Bram seperti tipikal
orang sebangsa Dino, Tito berbadan tambun dan yang bule namanya Marchell, sementara gadis SMU itu
bernama Shelly. Mereka semua yang laki-laki memandang diriku dengan mata lapar membuat aku tanpa sadar
menyilangkan tangan di depan dadaku, seolah-olah mereka bisa melihat tubuhku di balik pakaian yang aku
kenakan ini.
Tampak tak sabaran Dino menarik diriku ke loteng. Langsung menuju sebuah kamar yang ada di ujung.
Kamar itu tidak berdaun pintu, sebenarnya lebih tepat disebut ruang penyangga antara teras dengan
kamar-kamar yang lain Sebab di salah satu ujungnya merupakan pintu tembusan ke ruang lain.
Di sana ada sebuah kasur yang terhampar begitu saja di lantai kamar. Dengan sprei yang sudah acak-
acakan. Di sudut terdapat dua buah kursi sofa besar dan sebuah meja kaca yang mungil. Di bawahnya
berserakan majalah-majalah yang cover depannya saja bisa membuat orang merinding. Bergambar
perempuan-perempuan telanjang.
Aku sadar bahkan sangat sadar, apa yang dimaui Dino di kamar ini. Aku beranjak ke jendela. Menutup
gordynnya hingga ruangan itu kelihatan sedikit gelap. Namun tak lama, karena kemudian Dino menyalakan
lampu.
Aku berputar membelakangi Dino, dan mulai melucuti pakaian yang aku kenakan. Dari blouse, kemudian rok
bawahanku kubiarkan meluncur bebas ke mata kakiku. Kemudian aku memutar balik badanku berbalik
menghadap Dino.
Betapa terkejutnya aku ketika aku berbalik, ternyata di hadapanku kini tidak hanya ada Dino, namun
Maki juga sedang berdiri di situ sambil cengengesan. Dengan gerakan reflek, aku menyambar blouseku
untuk menutupi tubuhku yang setengah telanjang. Melihat keterkejutanku, kedua laki-laki itu malah
tertawa terbahak-bahak.
“Ayolah Amel, Toh engkau juga sudah sering memperlihatkan tubuh telanjangmu kepada beberapa laki-laki
lain?.”
“Kurang ajar kau Dino!” Aku mengumpat sekenanya.
Wajah laki-laki itu berubah seketika, dari tertawa terbahak-bahak menjadi serius, sangat serius.
Dengan tatapan yang sangat tajam dia berujar,
“Apakah engkau punya pilihan lain? Ayolah, lakukan saja dan sesudah selesai kita boleh melupakan
kejadian ini.”
Aku tertegun, melayani dua orang sekaligus belum pernah aku lakukan sebelumnya. Apalagi orang-orang
yang bertampang seram seperti ini. Tapi seperti yang dia bilang, aku tak punya pilihan lain. Seribu
satu pertimbangan berkecamuk di kepalaku hingga membuat aku pusing.
Tubuhku tanpa sadar sampai gemetaran, terasa sekali lututku lemas sepertinya aku sudah kehabisan
tenaga karena digilir mereka berdua, padahal mereka sama sekali belum memulainya.
Akhirnya, dengan sangat berat aku menggerakkan kedua tangan ke arah punggungku di mana aku bisa meraih
kaitan BH yang aku pakai. Baju yang tadi aku pakai untuk menutupi bagian tubuhku dengan sendirinya
terjatuh ke lantai.
Dengan sekali sentakan halus BH-ku telah terlepas dan meluncur bebas dan sebelum terjatuh ke lantai
kulemparkan benda itu ke arah Dino yang kemudian ditangkapnya dengan tangkas. Ia mencium bagian dalam
mangkuk bra-ku dengan penuh perasaan.
“Harum!”, katanya.
Lalu ia seperti mencari-cari sesuatu dari benda itu, dan ketika ditemukannya ia berhenti.
“36B!”, katanya pendek.
Rupanya ia pingin tahu berapa ukuran dadaku ini.
“BH-nya saja sudah sedemikian harum, apalagi isinya!”, katanya seraya memberikan BH itu kepada Maki
sehingga laki-laki itu juga ikut-ikutan menciumi benda itu.
Namun demikian mata mereka tak pernah lepas menatap belahan payudaraku yang kini tidak tertutup apa-
apa lagi.
Aku kini hanya berdiri menunggu, dan tanpa diminta Dino melangkah mendekatiku. Ia meraih kepalaku.
Tangannya meraih kunciran rambut dan melepaskannya hingga rambutku kini tergerai bebas sampai ke
punggung.
“Nah, dengan begini kau kelihatan lebih cantik!”
Ia terus berjalan memutari tubuhku dan memelukku dari belakang. Ia sibakkan rambutku dan
memindahkannya ke depan lewat pundak sebelah kiriku, sehingga bagian punggung sampai ke tengkukku
bebas tanpa penghalang. Lalu ia menjatuhkan ciumannya ke tengkuk belakangku.
Lidahnya menjelajah di sekitar leher, tengkuk kemudian naik ke kuping dan menggelitik di sana. Kedua
belah tangannya yang kekar dan berbulu yang tadi memeluk pinggangku kini mulai merayap naik dan mulai
meremas-remas kedua belah payudaraku dengan gemas. Aku masih menanggapinya dengan dingin dengan tidak
bereaksi sama sekali selain memejamkan mataku.
Dino rupanya tidak begitu suka aku bersikap pasif, dengan kasar ia menarik wajahku hingga bibirnya
bisa melumat bibirku. Aku hanya berdiam diri saja tak memberikan reaksi.
Sambil melumat, lidahnya mencari-cari dan berusaha masuk ke dalam mulutku, dan ketika berhasil
lidahnya bergerak bebas menjilati lidahku hingga secara tak sengaja lidahkupun meronta-ronta.
Sambil memejamkan mata aku mencoba untuk menikmati perasaan itu dengan utuh. Tak ada gunanya aku
menolak, hal itu akan membuatku lebih menderita lagi.
Dengan kuluman lidah seperti itu, ditingkahi dengan remasan-remasan telapak tangannya di payudaraku
sambil sekali-sekali ibu jari dan telunjuknya memilin-milin puting susuku, pertahananku akhirnya bobol
juga.
Memang, aku sudah sangat terbiasa dan sangat terbuai dengan permaian seperti ini hingga dengan
mudahnya Dino mulai membangkitkan nafsuku. Bahkan kini aku mulai memberanikan menggerakkan tangan
meremas kepala Dino yang berada di belakangku.
Sementara dengan ekor mataku aku melihat Maki beranjak berjalan menuju sofa dan duduk di sana, sambil
pandangan matanya tidak pernah lepas dari kami berdua.
Mungkin karena merasa sudah menguasai diriku, ciuman Dino terus merambat turun ke leherku,
menghisapnya hingga aku menggelinjang. Lalu merosot lagi menelusup di balik ketiak dan merayap ke
depan sampai akhirnya hinggap di salah satu pucuk bukit di dadaku,
Dengan satu remasan yang gemas hingga membuat puting susuku melejit Dino untuk mengulumnya. Pertama
lidahnya tepat menyapu pentilnya, lalu bergerak memutari seluruh daerah puting susuku sebelum mulutnya
mengenyot habis puting susuku itu. Ia menghisapnya dengan gemas sampai pipinya kempot.
Tubuhku secara tiba-tiba bagaikan disengat listrik, terasa geli yang luar biasa bercampur sedikit
nyeri di bagian itu. Aku menggelinjang, melenguh apalagi ketika puting susuku digigit-gigit perlahan
oleh Dino. Buah anggur yang ranum itu dipermainkan pula dengan lidah Dino yang kasap.
Dipilin-pilinnya kesana kemari. Dikecupinya, dan disedotnya kuat-kuat sampai putingnya menempel pada
telaknya. Aku merintih. Tanganku refleks meremas dan menarik kepalanya sehingga semakin membenam di
kedua gunung kembarku yang putih dan padat.
Aku sungguh tak tahu mengapa harus begitu pasrah kepada lelaki itu. Mengapa aku justeru tenggelam
dalam permaianan itu?
Semula aku hanya merasa terpaksa demi menutupi rahasia atas perbuatanku. Tapi kemudian nyatanya,
permainan yang Dino mainkan begitu dalam. Dan aneh sekali, Tanpa sadar aku mulai mengikuti permainan
yang dipimpin dengan cemerlang oleh Dino.
“Amel,”
“Ya?,”
“Kau suka aku perlakukan seperti ini?”. Aku hanya mengangguk.
Dan memejamkan matanya. membiarkan payudaraku terus diremas-remas dan puting susunya dipilin perlahan.
Aku menggeliat, merasakan nikmat yang luar biasa. Puting susu yang mungil itu hanya sebentar saja
sudah berubah membengkak, keras dan mencuat semakin runcing.
“Hsss, ah!”, Aku mendesah saat merasakan jari-jari tangan lelaki itu mulai menyusup ke balik celana
dalamku dan merayap mencari liang yang ada di selangkanganku.
Dan ketika menemukannya Jari-jari tangan itu mula-mula mengusap-usap permukaannya, terus mengusap-usap
dan ketika sudah terasa basah jarinya mulai merayap masuk untuk kemudian menyentuh dinding-dinding
dalam liang itu.
Dalam posisi masih berdiri berhadapan, sambil terus mencumbui payudaraku, Dino meneruskan aksinya di
dalam liang gelap yang sudah basah itu. Makin lama makin dalam. Aku sendiri semakin menggelinjang tak
karuan, kedua buah jari yang ada di dalam liang vaginaku itu bergerak-gerak dengan liar.
Bahkan kadang-kadang mencoba merenggangkan liang vaginaku hingga menganga. Dan yang membuat aku tambah
gila, ia menggerak-gerakkan jarinya keluar masuk ke dalam liang vaginaku seolah-olah sedang
menyetubuhiku. Aku tak kuasa untuk menahan diri.
“Nggghh!”, mulutku mulai meracau.
Aku sungguh kewalahan dibuatnya hingga lututku terasa lemas hingga akhirnya akupun tak kuasa menahan
tubuhku hingga merosot bersimpuh di lantai. Aku mencoba untuk mengatur nafasku yang terengah-engah.
Aku sungguh tidak memperhatikan lagi yang kutahu kini tiba-tiba saja Dino telah berdiri telanjang
bulat di hadapanku. Tubuhnya yang tinggi besar, hitam dan penuh bulu itu dengan angkuhnya berdiri
mengangkang persis di depanku sehingga wajahku persis menghadap ke bagian selangkangannya. Disitu, aku
melihat batang kejantanannya telah berdiri dengan tegaknya. Besar panjang kehitaman dengan bulu hitam
yang lebat di daerah pangkalnya.
Dengan sekali rengkuh, ia meraih kepalaku untuk ditarik mendekati daerah di bawah perutnya itu. Aku
tahu apa yang dimauinya, bahkan sangat tahu ini adalah perbuatan yang sangat disukai para lelaki. Di
mana ketika aku melakukan oral seks terhadap kelaminnya.
Maka, dengan kepalang basah, kulakukan apa yang harus kulakukan. Benda itu telah masuk ke dalam
mulutku dan menjadi permainan lidahku yang berputar mengitari ujung kepalanya yang bagaikan sebuah
topi baja itu.
Lalu berhenti ketika menemukan lubang yang berada persis di ujungnya. Lalu dengan segala kemampuanku
aku mulai mengelomoh batang itu sambil kadang-kadang menghisapnya kuat-kuat sehingga pemiliknya
bergetar hebat menahan rasa yang tak tertahankan.
Pada saat itu aku sempat melirik ke arah sofa di mana Maki berada, dan ternyata laki-laki ini sudah
mulai terbawa nafsu menyaksikan perbuatan kami berdua. Buktinya, ia telah mengeluarkan batang
kejantanannya dan mengocoknya naik turun sambil berkali-kali menelan ludah.
Konsentrasiku buyar ketika Dino menarik kepalaku hingga menjauh dari selangkangannya. Ia lalu menarik
tubuhku hingga telentang di atas kasur yang terhampar di situ. Lalu dengan cepat ia melucuti celana
dalamku dan dibuangnya jauh-jauh seakan-akan ia takut aku akan memakainya kembali.
Untuk beberapa detik mata Dino nanar memandang bagian bawah tubuhku yang sudah tak tertutup apa-apa
lagi. Si Makipun sampai berdiri mendekat ke arah kami berdua seakan ia tidak puas memandang kami dari
kejauhan.
Namun beberapa detik kemudian, Dino mulai merenggangkan kedua belah pahaku lebar-lebar. Paha kiriku
diangkatnya dan disangkutkan ke pundaknya. Lalu dengan tangannya yang sebelah lagi memegangi batang
kejantanannya dan diusap-usapkan ke permukaan bibir vaginaku yang sudah sangat basah.
Ada rasa geli menyerang di situ hingga aku menggelinjang dan memejamkan mata.
Sedetik kemudian, aku merasakan ada benda lonjong yang mulai menyeruak ke dalam liang vaginaku. Aku
menahan nafas ketika terasa ada benda asing mulai menyeruak di situ. Seperti biasanya, aku tak kuasa
untuk menahan jeritanku pada saat pertama kali ada kejantanan laki-laki menyeruak masuk ke dalam liang
vaginaku.
Dengan perlahan namun pasti, kejantanan Dino meluncur masuk semakin dalam. Dan ketika sudah masuk
setengahnya ia bahkan memasukkan sisanya dengan satu sentakan kasar hingga aku benar-benar berteriak
karena terasa nyeri. Dan setelah itu, tanpa memberiku kesempatan untuk membiasakan diri dulu, Dino
sudah bergoyang mencari kepuasannya sendiri.
Dino menggerak-gerakkan pinggulnya dengan kencang dan kasar menghunjam-hunjam ke dalam tubuhku hingga
aku memekik keras setiap kali kejantanan Dino menyentak ke dalam. Pedih dan ngilu. Namun bercampur
nikmat yang tak terkira.
Ada sensasi aneh yang baru pertama kali kurasakan di mana di sela-sela rasa ngilu itu aku juga
merasakan rasa nikmat yang tak terkira. Namun aku juga tidak bisa menguasai diriku lagi hingga aku
sampai menangis menggebu-gebu, sakit keluhku setiap kali Dino menghunjam, tapi aku semakin mempererat
pelukanku, Pedih, tapi aku juga tak bersedia Dino menyudahi perlakuannya terhadap diriku.
Aku semakin merintih. Air mataku meleleh keluar. kami terus bergulat dalam posisi demikian. Sampai
tiba-tiba ada rasa nikmat yang luar biasa di sekujur tubuhku. Aku telah orgasme. Ya, orgasme bersama
dengan orang yang aku benci.
Tubuhku mengejang selama beberapa puluh detik. Sebelum melemas. Namun Dino rupanya belum selesai. Ia
kini membalikkan tubuhku hingga kini aku bertumpu pada kedua telapak tangan dan kedua lututku. Ia
ingin meneruskannya dengan doggy style. Aku hanya pasrah saja.
Kini ia menyetubuhiku dari belakang. Tangannya kini dengan leluasa berpindah-pindah dari pinggang,
meremas pantat dan meremas payudaraku yang menggelantung berat ke bawah. Kini Dino bahkan lebih
memperhebat serangannya. Ia bisa dengan leluasa menggoyangkan tubuhnya dengan cepat dan semakin kasar.
Pada saat itu tanpa terasa, Maki telah duduk mengangkang di depanku. Laki-laki ini juga telah
telanjang bulat. Ia menyodorkan batang penisnya ke dalam mulutku, tangannya meraih kepalaku dan dengan
setengah memaksa ia menjejalkan batang kejantanannya itu ke dalam mulutku.
Kini aku melayani dua orang sekaligus. Dino yang sedang menyetubuhiku dari belakang. Dan Maki yang
sedang memaksaku melakukan oral seks terhadap dirinya. Dino kadang-kadang malah menyorongkan kepalanya
ke depan untuk menikmati payudaraku.
Aku mengerang pelan setiap kali ia menghisap puting susuku. Dengan dua orang yang mengeroyokku aku
sungguh kewalahan hingga tidak bisa berbuat apa-apa. Malahan aku merasa sangat terangsang dengan
posisi seperti ini.
Mereka menyetubuhiku dari dua arah, yang satu akan menyebabkan penis pada tubuh mereka yang berada di
arah lainnya semakin menghunjam. Kadang-kadang aku hampir tersedak. Maki yang tampaknya mengerti
kesulitanku mengalah dan hanya diam saja. Dino yang mengatur segala gerakan.
Perlahan-lahan kenikmatan yang tidak terlukiskan menjalar di sekujur tubuhku. Perasaan tidak berdaya
saat bermain seks ternyata mengakibatkan diriku melambung di luar batas yang pernah kuperkirakan
sebelumnya. Dan kembali tubuhku mengejang, deras dan tanpa henti. Aku mengalami orgasme yang datang
dengan beruntun seperti tak berkesudahan.
Tidak lama kemudian Dino mengalami orgasme. Batang penisnya menyemprotkan air mani dengan deras ke
dalam liang vaginaku. Benda itu menyentak-nyentak dengan hebat, seolah-olah ingin menjebol dinding
vaginaku. Aku bisa merasakan air mani yang disemprotkannya banyak sekali, hingga sebagian meluap
keluar meleleh di salah satu pahaku.
Sesudah itu mereka berganti tempat. Maki mengambil alih perlakuan Dino. Masih dalam posisi doggy
style. Batang kejantanannya dengan mulus meluncur masuk dalam sekali sampai menyentuh bibir rahimku.
Ia bisa mudah melakukannya karena memang liang vaginaku sudah sangat licin dilumasi cairan yang keluar
dari dalamnya dan sudah bercampur dengan air mani Dino yang sangat banyak.
Permainan dilanjutkan. Aku kini tinggal melayani Maki seorang, karena Dino dengan nafas yang
tersengal-sengal telah duduk telentang di atas sofa yang tadi diduduki Maki untuk mengumpulkan tenaga.
Aku mengeluh pendek setiap kali Maki mendorong masuk miliknya. Maki terus memacu gerakkannya. Semakin
lama semakin keras dan kasar hingga membuat aku merintih dan mengaduh tak berkesudahan.
Pada saat itu masuk Bram dan Tito bersamaan ke dalam ruangan. Tanpa basa-basi, mereka pun langsung
melucuti pakaiannya hingga telanjang bulat. Lalu mereka duduk di lantai dan menonton adegan mesum yang
sedang terjadi antara aku dan Maki.
Bram nampak kelihatan tidak sabaran Tetapi aku sudah tidak peduli lagi. Maki terus memacu menggebu-
gebu. Laki-laki itu sibuk memacu sambil meremasi payudaraku yang menggelantung berat ke bawah.
Sesaat kemudian tubuhku dibalikkan kembali telentang di atas kasur dan pada saat itu Bram dengan
tangkas menyodorkan batang kejantanannya ke dalam mulutku. Aku sudah setengah sadar ketika Tito
menggantikan Maki menggeluti tubuhku.
Keadaanku sudah sedemikian acak-acakan. Rambut yang kusut masai. Tubuhku sudah bersimpah peluh. Tidak
hanya keringat yang keluar dari tubuhku sendiri, tapi juga cucuran keringat dari para laki-laki yang
bergantian menggauliku. Aku kini hanya telentang pasrah ditindihi tubuh gemuk Tito yang bergoyang-
goyang di atasnya.
Laki-laki gemuk itu mengangkangkan kedua belah pahaku lebar-lebar sambil terus menghunjam-hunjamkan
miliknya ke dalam milikku. Sementara Bram tak pernah memberiku kesempatan yang cukup untuk bernafas.
Ia terus saja menjejal-jejalkan miliknya ke dalam mulutku. Aku sendiri sudah tidak bisa mengotrol
diriku lagi. Guncangan demi guncangan yang diakibatkan oleh gerakan Titolah yang membuat Bram makin
terangsang. Bukan lagi kuluman dan jilatan yang harusnya aku lakukan dengan lidah dan mulutku.
Dan ketika Tito melenguh panjang, ia mencapai orgasmenya dengan meremas kedua belah payudaraku kuat-
kuat hingga aku berteriak mengaduh kesakitan. Lalu beberapa saat kemudian ia dengan nafasnya yang
tersengal-sengal memisahkan diri dari diriku.
Dan pada saat hampir bersamaan Bram juga mengerang keras. Batang kejantanannya yang masih berada di
dalam mulutku bergerak liar dan menyemprotkan air maninya yang kental dan hangat.
Aku meronta, ingin mengeluarkan banda itu dari dalam mulutku, namun tangan Bram yang kokoh tetap
menahan kepalaku dan aku tak kuasa meronta lagi karena memang tenagaku sudah hampir habis. Cairan
kental yang hangat itu akhirnya tertelan olehku. Banyak sekali. Bahkan sampai meluap keluar membasahi
daerah sekitar bibirku sampai meleleh ke leher.
Aku tak bisa berbuat apa-apa, selain dengan cepat mencoba menelan semua yang ada supaya tidak terlalu
terasa di dalam mulutku. Aku memejamkan mata erat-erat, tubuhku mengejang melampiaskan rasa yang tidak
karuan, geli, jijik, namun ada sensasi aneh yang luar biasa juga di dalam diriku. Sungguh sangat
erotis merasakan siksa birahi semacam ini hingga akupun akhirnya orgasme panjang untuk ke sekian
kalinya.
Dengan ekor mataku aku kembali melihat seseorang masuk ke ruangan yang ternyata si bule dan orang itu
juga mulai membuka celananya. Aku menggigit bibir, dan mulai menangis terisak-isak. Aku hanya bisa
memejamkan mata ketika Marchell mulai menindihi tubuhku. Pasrah.
Tidak lama kemudian setelah orang terakhir melaksanakan hasratnya pada diriku mereka keluar. aku
merasa seluruh tubuhku luluh lantak. Setelah berhasil mengumpulkan cukup tenaga kembali, dengan
terhuyung-huyung, aku bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaianku seadanya dan pergi mencari kamar
mandi.
Aku berpapasan dengan Dino yang muncul dari dalam sebuah ruangan yang pintunya terbuka. Lelaki itu
sedang sibuk mengancingkan retsluiting celananya. Masih sempat terlihat dari luar di dalam kamar itu,
di atas tempat tidur tubuh Shelly yang telanjang sedang ditindihi oleh tubuh Maki yang bergerak-gerak
cepat. Memacu naik turun. Gadis itu menggelinjang-gelinjang setiap kali Maki bergerak naik turun.
Rupanya anak itu bernasib sama seperti diriku.
“Di mana aku bisa menemukan kamar mandi?” tanyaku pada Dino.
Tanpa menjawab, ia hanya menunjukkan tangannya ke sebuah pintu. Tanpa basa-basi lagi aku segera
beranjak menuju pintu itu.
Di sana aku mandi berendam air panas sambil mengangis. Aku tidak tahu saya sudah terjerumus ke dalam
apa kini. Yang membuat aku benci kepada diriku sendiri, walaupun aku merasa sedih, kesal, marah
bercampur menjadi satu, namun demikian setiap kali teringat kejadian barusan, langsung saja
selangkanganku basah lagi.
Aku berendam di sana sangat lama, mungkin lebih dari satu jam lamanya. Setelah terasa kepenatan
tubuhku agak berkurang aku menyudahi mandiku. Dengan berjalan tertatih-tatih aku melangkah keluar
kamar mandi dan berjalan mencari pintu keluar. Sudah hampir jam sebelas malam ketika aku keluar dari
rumah itu.
Sampai di dalam rumah, Aku langsung ngeloyor masuk ke kamar. Aku tak peduli dengan kakakku yang
terheran-heran melihat tingkah lakuku yang tidak biasa, aku tak menyapanya karena memang sudah tidak
ada keinginan untuk berbicara lagi malam ini. Aku tumpahkan segala perasaan campur aduk itu,
kekesalan, dan sakit hati dengan menangis.
0 komentar:
Post a Comment