Arsex Artikel Sex, Artikel Dewasa, Artikel Ngentot, Artikel Terbaru 2016
Cerita Sex - Aku tinggal di kompleks perumahan elit di Yogyakarta. Suamiku termasuk orang yang selalu sibuk. Sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kejaksaan Yogyakarta tugasnya boleh dibilang tidak kenal waktu. Usiaku sudah 35 tahun selisih tiga tahun lebih tua suamiku. Tinggi 158 cm dan berat 50 kg, orang-orang bilang tubuhku bagus, tapi menuruntuku biasa–biasa saja. Aku punya dua putra, anak pertama kelas tiga SMP dan anak kedua kelas satu SMP.Sebut saja namaku Ina (nama samaran). Aku melakukan kesalahan yang sangat fatal dalam hidup ini karena aku telah berselingkuh dengan seseorang yang aku belum begitu mengenalnya.
Cerita Sex | Singkat cerita, kejadian ini pada tanggal 6 Maret 2008, dimana waktu itu aku berkunjung kekantor suamiku setelah aku pulang dari mengajar, oh ya, aku adalah seorang guru di salah satu SMP Negeri dan Swasta di Jogja. Dari sekolahan aku langsung melucur kekantor Kejaksaan Yogyakarta, tapi diperempatan sebelah timur tugu aku telah melanggar lampu merah dan akhirnya aku dikejar oleh salah seorang polisi yang sedang bertugas, sang Polisi berhenti memotong laju kendaraanku aku pun bergegas menginjak rem.“Selamat Siang Bu..!”
“Siang pak”, begitu sahutku.
“Maaf Bu, Anda telah melanggar lampu merah, Tolong tunjukan SIM dan STNK Anda.” Aku pun mengeluarkan dompet dan menyerahkan SIM beserta STNK.
“Maaf Bu, Anda Ikut saya kepos Polisi.” Aku pun menurutinya karena aku juga merasa bersalah.
Polisi muda tersebut usianya sekitar 28 Tahun dan berinisial “R”. Kami pun sama–sama menuju pos polisi. Setelah sampai dipos polisi saya diberi alternatif untuk mengembalikan SIM saya. Yang pertama aku harus sidang pada tanggal 11 Maret dan aku harus membayar denda sebesar 20 ribu. Tanpa ambil pusing akupun langsung membayar denda karena aku juga tergesa–gesa menuju kantor suamiku, karena suamiku telah menungguku untuk pulang bareng, kebetulan suamiku tidak bawa mobil karena dipakai salah satu temannya. Ku akui kalau polisi tersebut tampan, badan tinggi dan tegap. Setelah proses pembayaran denda selesai, sang polisi bertanya.
“Maaf Bu, kenapa Ibu kelihatannya Tergesa-gesa?”
“Iya ini pak, saya sudah ditunggu suamiku dikantornya.”
“Kalau boleh tahu kantornya dimana Bu?”
“Kantor Kejaksaan Pak”, aku jawab pertanyaannya.
“Oya, Suami Ibu siapa namanya, kalau boleh tau”?
“Pak Andre (nama samaran)”
“Ha… Pak Andre”, Polisi merasa terkejut.
“Iya memang kenapa”, tanyaku kepada polisi muda.
“saya kenal baik bu dengan dia.”
“Oh ya… Bapak kenal dimana?”, Kembali tanyaku.
“saya sering kekantor kejaksaan Bu, jadi ya kenal dengan pak Andre.”
“Oh… Iya sich polisi sama kejaksaan masih saudara ya”, begitu girauku dengan polisi muda.
“Ah… Ibu bisa saja. Pak Andre beruntung ya punya istri secantik ibu.”
“Terima kasih pak atas pujiannya, tapi saya boleh pergi pak. Kasihan suamiku sudah menunggu”, begitu sahuntuku sama polis muda.
“Oh… Silahkan bu, kalau ibu butuh sesuatu yang berhubungan dengan polisi silahkan hubungi saya bu”, sambil kasih secarik kertas berisikan nomor hp dia.
Akupun menerimanya dan langsung pergi kekantor suamiku. Setiba dikantor suamiku, suamiku sudah menunggu diruang tamu, sedang bincang–bincang dengan rekan kerjanya. “Kok mama lama banget sich, kemana aja?”, tanya suamiku kepadaku.
“Maaf pa, tadi saya ketilang”, jawabku singkat.
“Kok mama tidak bilang, kan nanti bisa tidak bayar denda”, jawab suamiku.
“Gak masalah pa, lagi pula mama yang salah.”
“Emang siapa yang tilang kamu ma?”, tanya suamiku.
“Dia namanya Randi (nama samaran)”, begitu jawabku sama suamiku.
“Ha… Randi, mama tidak bilang kalau mama istriku?”
“Bilang sich pa, tapi pas sudah membayar denda, udahlah pa tidak usah dibahas lagi”, begitu aku meyakinkan suamiku biar tidak berkepanjangan.
“ya sudah ayo pulang”, ajak suamiku.
Setelah suamiku pamit kepada rekan–rekannya, langsung aku dan suamiku berboncengan menuju rumah. Keesokan harinya hari kamis tanggal tujuh Maret 2008, kebetulan aku tidak mengajar, karena hari kamis tidak ada jam pelajaran yang saya ajarkan. Akhirnya aku dirumah sendiri karena anak–anak sekolah dan suami kekantor yang ad Cuma pembantu. Sekitar pukul 10 siang telepon rumah berdering. Aku pun lansung angkat teleponnya.
“Halo… Selamat pagi”, jawabku.
“Halo ma ini papa, tadi polisi yang menilang kamu kemarin datang kekantor minta maaf sama papa, dan mau ngembaliin uang denda kemarin”, kata suamiku ditelepon.
“Trus gimana pa?, ya udahlah pa tidak usah diusut lagi.”
“Aku tidak ngapain–ngapain kok, tadi dia sendiri yang datang kekantor dan minta maaf”, begitu jawab suamiku.
“Ya udahlah, terima aja uang dendanya, selesai kan?”, akupun menjawab
“Sekarang dia menuju rumah kita, karena aku bilang minta maaf aja langsung ma istriku”, jawab suamiku.
“Ihh, ngapain pa?, kayak kurang kerjaan aja?”, aku membalas perkataannya.
“Ya udah tidak masalah, ntar dia cuma minta maaf kok. Dah ya ma, papa lagi kerja nich”, begitu kata suamiku.
“Ya udah pa, da…”, aku pun tutup teleponnya. Selang 30 menit ada kendaraan sepeda motor Honda Tiger datang, aku sedang menonton TV diruang keluarga.
“Permisi… Permisi…”, panggil seseorang dibalik pintu depan.
“Bi… Tolong buka pintu, ada tamu”, aku menyuruh pembantuku.
“Iya bu”, jawab pembantuku.
“Maaf mbak bu Ida ada?”, tanya seorang tamu tadi.
“Ada pak, tapi bapak siapa ya?”, tTanya kembali pembantuku.
“Oh ya, bilang saja saya Randi. Ibu dah tahu kok”, jawabnya.
Aku yang didalam ruang keluarga mendengar percakapannya, aku terkejut setelah yang datang adalah Randi sang polisi muda yang tampan, tegap dan tinggi.
“Silahkan masuk pak”, pembantuku bersikap sopan terhadapnya. Gak lama kemudian pembantuku datang.
“Bu ada yang cari ibu?”, kata pembantuku.
“Siapa bi?”, tanyaku pura–pura tidak tau.
“Randi bu, katanya ibu sudah tau”, jawab pembantuku yang polos.
“Ya udah sana masak lagi”, begitu perintahku sama pembantuku.
Akupun berdiri menuju ruang tamu.
“Eh.. Pak Randi, ada apa ya pak? Apa masih perlu syarat lagi untuk ditilang?”, kataku sedikit menyindir.
“Gak bu, jadi tidak enak nich. Saya hanya minta maaf bu”, jawab Randi.
“Ngapain minta maaf, kan saya yang salah dan kamu sudah sesuai prosedur untuk menilang saya”, aku pun menjawab.
“Iya sich bu, tapi saya tidak enak saja”, Kembali dia berkata dengan nada menyesal.
“Ya sudah tidak usah dipikirkan lagi”, sahutku.
“Iya bu terimakasih”, jawabnya.
“Kok bapak tidak bertugas”, tanyaku.
“Saya mohon jangan panggil pak dong, panggil nama saja”, jawabnya.
“Oya maaf. Randi kok tidak tugas?”, tanyaku kembali.
“Saya nanti malam piket bu.”, jawabnya dengan polos.
“Oh… Jadi kesini intinya hanya minta maaf ya?”, tanyaku kepada Randi.
“Iya bu, maaf bu kok sepi emang rumah sebesar ini dihuni siapa saja bu?”, tanya Randi.
“Oh… Anak–anak lagi sekolah, bapak dikantor, jadi dirumah cuma aku dan pembantuku, tapi kalau aku kerja ya cuma pembantuku”, jawabku jelas.
“Rumah sebesar ini cuman dihuni 4 orang plus pembantu bu?”, tanyanya kembali.
“Iya emang napa?”, tanyaku kembali.
Ku akui rumah kami memang besar bertingkat, kamar tidur ada 6, diatas dua dibawah tiga dan satu kamar pembantu. Untuk kamar atas khusus kamar aku dan suamiku dan satu kamar atas untuk kamar tamu. Anak–anakku punya kamar sendiri–sendiri dibawah.
“Gak apa – apa Cuma tanya aja bu”, begitu jawab Randi.
Pukul sudah menunjukan pukul 11.00 WIB kami asik ngobrol. Diwaktu ngobrol asik pembantuku membawa minuman teh buat Randi dan aku.
“Silahkan diminum Ran”, perintahku sama Randi.
“Iya bu, terimakasih”, jawabnya.
Kami pun menikmati teh yang dibuat oleh pembantuku. Dan tiba–tiba… “Ibu cantik sekali”, kata Randi.
“Maaf.. Apa ran?”, aku pura–pura tidak dengar dan sedikit kaget.
“Iya ibu cantik sekali, pak Andre beruntung punya istri kayak ibu yang cantik dan pinter”, katanya kembali memujiku. “Terimakasih atas pujiannya, tapi aku sudah berusia 35 tahun jadi dibandingkan dengan perempuan yang seusia kamu pasti lebih cantik, apa lagi aku bersuami dan punya anak lagi”, jawabku sambil menyakinkan kalau aku bersuami.
“Tapi ibu tetep cantik kok, walaupun punya anak”, dia kembali memujiku.
“Terimakasih ya, tapi Randi jangan memuji terus, karena tidak enak aja kedengaranya”, jawabku halus.
“Apakah saya salah bu, jika kagum terhadap ibu”, dia mulai merayu lagi.
“Gak salah kok, Cuma tidak enak aja. Apa lagi aku dah bersuami dan anak–anakku dah beranjak dewasa”, jawabku kepada Randi.
Dia berdiri dan duduk disamping kananku. Aku mulai merasa takut, aneh pokoknya sudah tak karuan perasaanku. Aku sedikit menggeser kekiri, dia mengikuti geser pula, akhirnya aku berdiri karena aku merasa terlecehkan.
“Maaf ran, jangan begitu tidak enak sama pembantuku, apalagi aku dah bersuami”, aku berkata tegas.
Tapi dia ikut berdiri dan kedua tangannya memegang pundakku dan ditekan kebawah agar aku kembali–kembali duduk disofa.
“Maaf bu, tapi saya benar–benar kagum terhadap ibu, ibu cantik bahkan kecantikan ibu mengalahkan semua wanita yang masih berumur belasan tahun. Benar bu ini semua kejujuranku terhadap ibu, aku bisa saja mendapatkan wanita lain tapi menuruntuku mereka tidak menarik bagiku tapi ibu yang menarik hatiku”, katanya lugu,
apakah dia jujur apa tidak tapi yang jelas sudah lama suamiku tidak memujiku bahkan hampir tidak pernah memujiku.
“Maaf Ran aku dah tua, sudah punya anak dan suami, aku sudah berkeluarga dan aku merasa sangat berbahagia dengan keluargaku saat ini. Jadi kumohon jangan lakukan lagi”, pintaku terhadap Randi walaupun tak pungkiri aku merasa senang dipuji.
Randi mulai mengeluskan tangannya dirambuntuku lurus yang panjang sambil berkata:
“Ibu, aku tidak bermaksud merusak kebahagiaan ibu, tapi aku hanya mengatakan kalau aku suka sama ibu walau umurku lebih muda 7 tahun dibawah ibu. Tapi menurutku ibu tetap cantik dan menarik.” Dia mulai berani mendekap aku.
Jantungku berdebar tak karuan, aku berontak tapi dia tetap tidak melepaskan pelukannya.
“cukup Randi, kamu jangan kurang ajar gini dong”, gerutuku masih dalam peluknya.
“Coba nikmati bu, jangan berpikiran ibu berkhianat terhadap suami ibu, tapi berpikirlah bagaimana agar ini terasa indah”, begitu katanya menyakinkanku.
Dilepas pelukannya dan dia memandangi wajahku. Dan kuakui dia anak yang tampan. Dan tanpa sadar dia telah mencium pipiku, dia melihatku dengan mata sayu lalu tiba-tiba dia mulai mencium pipiku kembali. Ku akui aku menikmati ciuman mesranya dipipiku. Dia kembali memelukku, tapi ini apa yang kurasakan dia menjilati kupingku, terus menjilati leherku kembali lagi kekuping terus menerus, aku hanya diam terpaku, akhirnya aku mendesis lirih. Dan seperti kehilangan kontrol akupun membalas menjilati kuping. Randi membalas tidak kalah jilatannya. Napasku terengah engah tanda napsuku mulai naik.
Ternyata dia tahu aku telah terangsang dengan tingkahnya. Tiba-tiba tangan kirinya dia taruh ke pahaku. Tetapi saat aku tidak menunjukkan reaksi, tangan Randi mulai mengelusi pahaku kemudian menaikkan elusannya ke peruntuku kemudian ke dadaku. Aku tepis kuat-kuat. Aku bisikkan agar jangan tidak sopan padaku. Dia tunjukkan celana dalamnya yang telah terdorong mencuat karena kontolnya yang ngaceng berat sambil telunjuknya menunjuk bibirnya agar aku diam. Kemudian dia perosotkan celananya hingga kontolnya yang cukup gede dan ujung kepalanya yang merah berkilatan itu nampak tegak kaku mencuat dari rimbunan bulunya yang masih halus tipis.
Aku kaget banget dengan ulah Randi ini. Yang aku takuntukan kalau-kalau pembantuku mendengar, masuk ke ruang tamu dan melihat apa yang terjadi di ruang tamu ini. Bisa-bisa aku dianggap serong sementara suamiku masih berada di kantor. Aku berontak untuk berdiri dan meninggalkan ruang tamu. Tetapi Randi lebih sigap dan kuat. Direnggutnya rambutku dengan kasar hingga aku nyaris terjatuh. Kemudian dengan paksa mukaku ditundukkan ke arah selangkangannya. Dia arahkan kontolnya ke mulutku. Dia maksudkan agar aku mengulumnya. Kurang ajar dan kebangetan banget, nih anak. Tahu bahwa ada pembantuku di dapur dia berani mencoba melakukan macam ini padaku.
Tapi aku tetap tidak mau. Dengan lembut dia menidurkan aku disofa dan dengan lembut pula tanpa kata kata, dia membuka kancing bajuku dan dia menyentuh kedua bukit kembarku, aku mendesis desis. Dia lepas bukit kembarku dan berdiri sambil menutup celananya kembali yang sempat dikeluarkan penisnya. Dia berkata:
Aku diam terpaku dan masih bimbang apakah aku menerimanya apa menolaknya, apa aku sudah berselingkuh. Aku masih terdiam sementara Randi menunggu jawabanku. Aku masih berpikir apa aku harus menampar muka Randi dan mengusirnya. Tapi jujur kuakui kalau perilaku Randi membuat aku terangsang. Dan akhirnya..
“Bi.. Bibi..”, Aku memanggil pembantuku. Pembantuku datang dengan lari–lari kecil dan menyahut panggilanku.
“Ada apa bu?” “Bibi sekarang ke pasar beli buah buat persediaan anak–anak”, perintahku.
Kebetulan buah–buahan yang dikulkas telah habis.
“Tapi bu, saya sedang masak”, bantah pembantuku.
“ya sudah tinggalkan saja, nanti sekalian mampir ke Rumah makan padang beli lauknya saja buat makan siang anak–anak”, perintahku kembali sama pembantuku.
“Baik bu”, jawab pembantuku.
“Oh ya sekalian jemput dwi ya, habis dari beli buah jemput Dwi”, perintahku lagi sama pembantuku.
Dwi adalah putraku ke dua kelas satu SMP, biasanya pulang jam dua siang. Anak pertamaku karena kelas tiga jadi ada les tambahan.
“Baik bu”, jawab pembantuku.
Sambil ku beri uang belanja dan kunci motor aku sempat melirik Randi yang tersenyum–senyum padaku. Akupun belum begitu meresponnya. Pembantu telah pergi dan akhirnya tinggal aku dan Randi, sempat melihat jam menunjukan pukul 12. Dan nanti kurang lebih jam 2.15 siang pembantuku akan kembali bersama anakku, itu artinya aku masih punya waktu 2jam untuk bersama Randi. Tapi jujur aku masih merasa bingung apa harus aku lakukan atau tidak, karena aku merasa bahagia dengan keluargaku saat ini juga, tetapi tak dapat kupungkiri aku sudah merasa terangsang dengan perilaku Randi. Tiba–tiba Randi berkata.
“Bu, ayo keruang keluarga sambil nonton tv”, ajak Randi.
Akupun melangkah keruang keluarga dengan Randi, dan setelah sampai diruang keluarga, kami duduk di karpet depan tv yang masih hidup. Tanpa basa basi, langsung saja dia merangkulku dan merobohkan aku dikarpet posisiku ditelentangkan, aku hanya protes,
“Rann… apa-apaan siih..”, katanya kita mau ngobrol saja kok begini…” Dan sambil mencari kaitan BH di belakang tubuhku, dia menjawab saja,
“Sebenarnya… aku pengen bu…” Setelah kaitan BH-ku terlepas, langsung saja BH-ku dibuka dan dijilat payudaraku serta dia menyedot-sedot puting susuku yang putih dan besar dan tanpa sadar aku mencoba memasukkan tangan kananku ke dalam celana Randi mencari cari penis yang sempat diperlihatkan kepadaku,
tetapi karena celananya agak sempit sehingga aku kesulitan memasukkan tanganku dan langsung saja aku berkata entah sadar apa tidak:
“Ran, bukain celanamu, aku yoo.., kepingin… pegang punyamu”, pintaku.
Dan tanpa melepas puting susuku yang masih dia sedot, dia mulai melepas celana dan celana dalamnya sekaligus sehingga dia sekarang sudah telanjang bulat dan penisnya yang setengah berdiri itu langsung saja kupegang dan segera saja aku berkomentar,
“Ran, kok masih lembek.. Gak kayak tadi?”
“Coba saja di isap… pasti sebentar saja sudah tegang, mau?”, tanya Randi.
sambil memandangi wajahku, dan akupun mulai menjilatinya, toh aku juga pernah sama suamiku. Dia melepas isapan mulutnya di payudaraku dan bangun serta duduk di dekat kepalaku sambil sedikit dia memiringkan badanku kearahnya dan dengan tidak sabaran langsung saja batang penisnya yang masih setengah berdiri kupegangi dan kepalanya ku jilat-jilat sebentar dan langsung dimasukkan ke dalam mulutku. Dia memutar badanku setengah tengkurap, aku segera saja memaju-mundurkan kepalaku sehingga penisnya keluar masuk di mulutku.
“Aah.., ooh, Buuu… teruss… ooh… enaaknyaa, Bu.. oohh”, kata Randi sambil membelai rambut di kepalaku dan sesekali dia menjambak dan baru sebentar saja aku menghisap penis Randi, terasa penisnya sudah tegang sekali.
Tiba-tiba saja penisnya dikeluarkan dari muluntuku dan langsung dia berkata.
“Buuu…, isap.., lagii.., doong”, pintanya kepadaku.
Tetapi aku menjawab dengan sedikit meminta.
“Rann… tolong, punya saya juga…” Ternyata dia langsung mengerti apa yang aku mau dan langsung saja dia merubah posisi dan dia menjatuhkan dirinya tiduran ke dekat kaki ku dan dia menarik celana dalamku turun serta melepas dari badanku.
Dengan perilakunya aku bergerak dan berganti posisi tidur di atas badan Randi sehingga vaginaku tepat berada di mulut Randi, maka tanpa bersusah payah dia sibak bulu-bulu vaginaku yang menutupi bibir vaginaku dan setelah itu dia membuka bibir vaginaku dengan kedua jari tangannya dan dia menjulurkan lidahnya menusuk ke dalam vaginaku yang sudah basah oleh cairan. Ketika ujung lidahnya menyodok kelubang vaginaku, langsung saja ku menekan pantatku ke wajahnya sehingga terasa dia sulit bernafas dan langsung ku kocok-kocok penis Randi dengan jari tanganku.
Ketika lidahnya menjelajahi seluruh bagian vaginaku dan bibir vaginaku tetap dia pegangi, aku lalu menaik-turunkan pantatku dengan cepat dan aku merasa keenakan dijilati. Aku mendesah yang agak keras karena terlalu nikmat.
“ooh… Ran, aahh teruus.. Ran, aduuh… enak.. Ran… Ran… ooh…”, desahku.
Dan sesekali clitorisku yang sedikit menonjol itu dan sudah mulai terasa mengeras, dia hisap-hisap dengan mulutnya sehingga desahan demi desahan keluar dari mulutku,
“ooh… itu.., Rannn, enaak, Sayang”, desahku kenikmatan dengan perilaku Randi.
Dan aku melepaskan pegangan dipenisnya Randi dan Aku menjatuhkan diri dari atas tubuhnya dan tidur telentang sambil memanggilnya.
“Rann, sayang, sini, Saya sudah nnggak tahaan… ayoo… sini… Raann”, memintaku sama Randi sang polisi muda.
Dia segera saja bangun dan membalik badannya serta dia menaiki tubuhku dan aku ketika tubuhnya sudah berada di atasku, aku membuka kakiku lebar-lebar dan dia tempatkan kakinya di antara kedua kakiku. Dengan nafas terengah engah dan mencoba memegang penisnya aku berkata,
“Raann.., cepat dong, masukin. Saya sudah tidak tahan.”
“Tunggu sayang, biar Aku saja yang masukin sendiri”, kata Randi sambil memindahkan ke atas, tanganku yang tadi mencoba memegang penisnya tetapi rupanya aku akui sudah tidak sabaran lalu kembali aku berkata.
“Rann, ayoh dong, cepetaan, dimasukiin, punyamu itu!”, aku memintanya kembali.
Dan tiba–tiba Randi memegang penisnya dan menggesek-gesekkan di belahan bibir vaginaku beberapa kali dan kemudian dia mulai menekan ke dalam serta,
“Blees”, terasa dengan mudahnya penisnya masuk ke dalam lubang vaginaku dan aku terkaget bersamaan penis Randi masuk kedalam vaginaku.
“Aduh… Raan”, aku sambil mendekap Randi erat-erat.
“Sakit, sayang?”, tanya Randi. Dan aku hanya menggelengkan kepalaku sedikit dan aku menciumi disekitar telinga Randi aku pun berbisik,
“Enaak, Rann…”, aku mendesis.
Dia menciumi wajahku dan sesekali dia hisap bibirku sambil dia memulai menggerakkan pantatnya naik turun pelan-pelan, aku mencengkram punggungnya Randi dengan keras. Dan aku berkata sambil menikmati goyangan pantat Randi.
“Ran, coba diamkan dulu pantatmu itu…”, pintaku sama Randi.
Ran pun menuruti saja permintaanku. Aku langsung mempermainkan otot-otot vagina kenikmatanku, dan Randi terasa penisnya seperti di pijat-pijat serta tersedot-sedot dan jepitan serta sedotan vaginaku semakin lama semakin kencang sehingga penisnya terasa begitu nikmat dan akupun menikmatinya. Dan ternyaya Randi terlena keenakan.
“oohh… sshh… Bu… enaknya… ooh… terus Bu, aduuh, enaak!”, Randi merasa menikmati sedotan vaginaku.
Dan Randi sudah tidak dapat tinggal diam saja, langsung pantatnya naik turun sehingga penisnya keluar masuk lubang vaginaku serta terdengar bunyi,
“Crreett… crettt…”, secara beraturan sesuai dengan gerakan penisnya keluar masuk vaginaku yang sudah sangat basah dan becek.
“Rannn, cabut dulu punyamu, biar aku lap dulu punyakuebentar”, kataku sama Randi.
“Biar saja Bu… nikmat begini kok”, sahutnya sambil meneruskan gerakan penisnya naik turun semakin cepat dan aku tidak memperhatikan jawabannya karena merasa kenikmatan yang sangat enak.
“ooh.. Bu… sshh.. oohh.. enaak.., Buuu.. aku, aku sudah nggak kuat, mau… keluarr, Bu…”, desahanknya yang sudah tidak kuat lagi menahan keluarnya air maninya.
“Rann, ayoo… Ran aduuh, ooh… Aku juga, ayoo sekaraang, aakkrr.., Sayang”, dan dia melepas air maninya semuanya ke dalam vaginaku sambil dia menekan penisnya kuat-kuat dan aku pun mendekapnya dengan sekuat tenagaku.
Baru sekarang kuraih kenikmatan yang luar biasa. Sungguh aku merasa nikmat, walau aku merasa bersalah terhadap keluargaku. Dia terkapar di atas badanku dengan nafas ngos-ngosan demikian juga dengan nafasku yang sangat cepat. Setelah nafas kami mulai mereda, lalu dia berkata,
“Bu, aku cabut ya punyaku”, dan sebelum dia menghabiskan perkataannya, aku cengkeram punggungnya dengan kedua tanganku dan aku berkata.
“Jangaan duluu, Rann, Aku masih ingin… punyamu tetap ada di dalam.” Dia pun menuruti kata–kataku.
Setelah agak lama dalam vaginaku, dikeluarkan penisnya dari vaginaku. Kamipun merapikan diri. Setelah kulihat jam ternyata menunjukkan pukul 13.15, Randi pun berpamitan akan pulang sambil melumat bibirku. Aku pun membalas ciuman mulutnya.
“Terimakasih bu, aku sangat puas”, kata Randi berbisik dikupingku.
Aku hanya diam tak menjawab, Randi pun langsung keluar rumah dan pergi. Aku merasa aneh dengan diriku, aku menghianati suamiku dan keluargaku tapi hati kecilku meras senang dengan kejadian ini. Setelah kejadian ini aku merasa bersalah dengan keluargaku, aku mencoba untuk memperbaiki sikapku. Tapi setiap malam aku merasa kangen dengan Randi. Bahkan saat berhubungan dengan suamiku aku membayangkan dengan Randi yang sangat lihai membuat aku mudah terangsang.
Aku dan Randi pun memanfaatkan hari kamis dimana aku libur kerja dan dia piket malam hari. Sampai saat ini aku dan Randi masih berhubungan, sesekali kami sexs phone, atau sexs sms. Aku memang ibu yang tak tahu diuntung dan kurang bersyukur dengan kebahagiaanku saat ini. Beginilah ceritaku, kutulis di situs ini. Dan jujur aku tahu situs ini dari Randi, aku pun menulis kisah ku ini atas permintaan Randi. – Cersex Cerita Sex, Cerita Dewasa, Cerita Ngentot, Cerita Mesum Terbaru 2015
0 komentar:
Post a Comment